Tampilkan postingan dengan label Pesawat Pengintai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pesawat Pengintai. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Oktober 2011

SR-71 BLACKBIRD

SR-71BLACKBIRD

Lockheed SR-71 adalah sebuah pesawat pengintai strategis jarak jauh berkecepatan Mach 3 yang berawal dari pesawat model A-12 dan YF-12 yang dibuat oleh Lockheed Skunk Works. SR-71 secara tidak resmi dijuluki ‘Blackbird’ dan dipanggil Habu (nama ular) oleh para awak penerbangnya. Clarence “Kelly” Johnson bertanggung jawab atas berbagai inovasi di konsep desain pesawat canggih ini. Keungulan dalam pertahanan pesawat ini adalah kecepatan terbang dan tingginya daya jelajah, dimana jika sebuah peluru kendali darat ke udara terdeteksi, tindak pengelakan yang standar adalah menambah kecepatan. Tipe SR-71 digunakan antara 1964 sampai 1998, dimana 12 dari 32 pesawat rusak akibat berbagai kecelakaan, tetapi tidak satupun hilang ketangan musuh.

Specifications (SR-71A)

Data from SR-71.org[67]
General characteristics
• Crew: 2
• Payload: 3,500 lb (1,600 kg) of sensors
• Length: 107 ft 5 in (32.74 m)
• Wingspan: 55 ft 7 in (16.94 m)
• Height: 18 ft 6 in (5.64 m)
• Wing area: 1,800 ft2 (170 m2)
• Empty weight: 67,500 lb (30,600 kg)
• Loaded weight: 170,000 lb (77,000 kg)
• Max takeoff weight: 172,000 lb (78,000 kg)
• Powerplant: 2× Pratt & Whitney J58-1 continuous-bleed afterburning turbojets, 32,500 lbf (145 kN) each
• Wheel track: 16 ft 8 in (5.08 m)
• Wheel base: 37 ft 10 in (11.53 m)
• Aspect ratio: 1.7
Performance
• Maximum speed: Mach 3.2+ (2,200+ mph, 3,530+ km/h, 1,900+ knots) at 80,000 ft (24,000 m)
• Range: 2,900 nmi (5,400 km)
• Ferry range: 3,200 nmi (5,925 km)
• Service ceiling: 85,000 ft (25,900 m)
• Rate of climb: 11,810 ft/min (60 m/s)
• Wing loading: 94 lb/ft² (460 kg/m²)
• Thrust/weight: 0.382

Minggu, 04 September 2011

Gannet TNI-AL

Gannet TNI-AL

Dengan luas wilayah laut yang begitu luas, ironis bagi kekuatan angkatan laut Indonesia yang saat ini tak memiliki satuan pesawat AKS (anti kapal selam). Walau ada Boeing 737 surveillance, N22 Nomad dan CN-235 MPA (maritim patrol aircraft), kedua pesawat tadi hanya sebatas mampu melakukan fungsi pengintaian, tanpa bisa melakukan aksi tindakan bila ada ancaman kapal selam. Maklum Boeing 737, Nomad dan CN-235 MPA tidak dibekali senjata ke permukaan.

Tambah miris lagi perasaan kita, justru negeri tetangga – Thailand, Filipina dan Singapura kini punya armada pesawat AKS (anti kapal selam), yakni Fokker F-27 Enforcer yang dirancang bisa menggotong rudal Harpoon, AM39 Exocet dan Sea Skua. Hakikatnya pesawat AKS adalah pesawat pengintai maritim juga yang dilengkapi radar dan sensor untuk mendeteksi obyek di permukaan dan bawah laut. Tapi ada peran yang ditambahkan dari pesawat intai maritim biasa, yakni kemampuan aksi untuk menghancurkan keberadaan kapal selam.

Sedikit mengintip ke sejarah masa lampau, TNI-AL lewat korps Penerbal (Penerbangan Angkatan Laut) pernah memiliki armada pesawat AKS buatan Inggris. Pesawat yang dimaksud adalah Fairey Gannet. Pesawat ini sangat khas, pertama karena sosoknya yang terlihat tambun dan kedua, Gannet punya dua bilah baling-baling yang sejajar di bagian hidung. Dua bilah baling-baling ini berputar saling berlawanan arah. Masuknya pesawat AKS jenis Ganet ke jajaran TNI-AL diawali dengan kontrak pembelian pesawat Gannet tipe AS-4 dan T-5 oleh KSAL dengan pihak Fairey Aviation Ltd (Inggris) pada tanggal 27 Januari 1959 di Jakarta.

Sebagai pesawat AKS, Gannet dirancang untuk bisa beroperasi dari landasan kapal induk, untuk itu sayap Gannet dapat dilipat dan untuk pendaratan dilengkapi pengait. Gannet yang dirancang pasca perang dunia kedua (1955) dioperasikan oleh empat negara, yakni Inggris, Indonesia, Australia dan Jerman. TNI-AL sendiri menempatkan satuan Gannet dalam skadron 100 AKS sebagai bagian dari kampanye operasi Trikora. Untuk ’mengganyang’ kapal selam musuh, Gannet dibekali kemampuan membawa dua unit torpedo yang ditempatkan dalam bomb bay. Serta tak ketinggalan peluncur roket dibawah kedua sayap.

Namun disebabkan insiden jatuhnya beberapa Gannet, pesawat ini tak dioperasikan dalam waktu lama karena sistem avionik yang kurang baik. Alhasil nasib Gannet keburu di grounded di semua negara. Jejak rekam sejarah pesawat tambun dengan tiga awak ini bisa dijumpai sebagai monumen di museum Satria Mandala, Jakarta dan Lanunal Juanda, Surabaya. Kedepan mudah-mudahan TNI-AL bisa memiliki pesawat AKS modern, dengan begitu pastinya lawan pun akan segan pada negeri ini

Spesifikasi
Pembuat : Fairey Aviation, UK
Awak : 3
Mesin : 1× Armstrong Siddeley Double Mamba ASMD.4 turboprop, 3,875 hp (2,890 kW)
Kecepatan : 402 Km/jam
Jarak Operasi : 1127 Km
Endurance terbang : 5 – 6 jam

Rabu, 02 Februari 2011

CN -212-200 PATMAR

CN -212-200 PATMAR

CN - 212 -200 PATMAR adalah pesawat terbang buatan PT.DI ( Dirgantara Indonesia ). Rencananya TNI AL hendak mengganti pesawat nomad dengan pesawat SKYTRUCK dari Polandia, namun karena untuk mendukung kebijakan pemerintah Indonesia untuk kemandirian Alutsista TNI maka proyek pembelian pesawat SKYTRUCK di alihkan ke CN 212-200.

Pesawat CN 212-200 Patmar ini di lengkapi dengan berbagai peralatan SURVEILLANCE yang lebih canggih salah satunya adalah FORWARD LOOKING INFRARED ( FLIR ).

Pesawat CN - 212-200 Patmar juga di lengkapi radar Thomson CFS buatan perancis yang mampu mendeteksi keberadaan kapal lain dari jarak 120 Mil dari udara. Peralatan yang bisa ber putar 360 derajat ini di pasang di bawah moncong pesawat . Salah satu ciri khas pesawat CN 212-200 Patmar adalah moncong berwarna hitam yang juga merupakan tempat di pasangnya perangkat radar OCEAN MASTER 100.

Selasa, 26 Oktober 2010

U-2 Dragon Lady

Lockheed
U-2 Dragon Lady
Tactical Reconnaissance

DESKRIPSI

Pesawat Pengintai U-2 awalnya dikembangkan oleh divisi “Skunkworks” Lockheed secara rahasia. Pesawat baru revolusioner ini diharapkan sebagai pesawat pengintai high-altitude untuk Central Intelligence Agency (CIA) dan AU AS. Lambang “U”, biasanya digunakan untuk pesawat dengan kegunaan yang tidak membahayakan (innocuous utility aircraft), digunakan sebagai bagian dari sebuah kampanye untuk menjaga pesawat sebagai misteri dari “prying eyes”.
Dengan tujuan untuk menyembunyikan tujuan sebenarnya dari U-2, skuadron operasional pertama secara resmi disebut dengan sebuah unit “Weather Reconnaissance" yang dioperasikan oleh NASA. Dua skuadron pertama berbasis di Jepang, Jerman atau Inggris, dari sini pesawat terbang untuk berbagai misi di Uni Soviet, Cina, Vietnam, dan Timur Tengah. U-2 juga membuktikan keberadaan misil nuklir pada 1962 di Kuba yang menyebabkan “Cuban Missile Crisis”.
Dunia tidak mengetahui tentang U-2 hingga 1 Mei 1960 ketika sebuah U-2 yang diterbangkan oleh Francis Gary Powers tertembak di Uni Soviet. Walaupun sang pilot akhirnya dapat kembali melalui pertukaran dengan mata-mata Soviet yang tertangkap, U-2 tidak pernah memasuki wilayah udara Uni Soviet lagi.
Keausan pesawat ternyata terlalu tinggi sehingga sangat sulit terbang dan contoh lain tertembak di China dan Cuba. Untuk memecahkan masalah ini, sebuah model baru, U-2R diproduksi pada tahun 1968. Versi terbaru pesawat ini adalah U-2S. Pada awalnya didesain sebagai TR-1, U-2S adalah sebuah U-2R yang diupdate dengan membawa “Synthetic-Aperture Radar” canggih yang mampu untuk menscan sejauh 35 mil ke dalam wilayah musuh, sementara pesawat masih berada di wilayah udara internasional. TR-1, U-2R, dan U-2S dapat dibedakan dari varian u-2 yang lebih tua dari pod avionic yang dipasang di bawah kedua sayapnya. U-2S masih beroperasi hingga sekarang dan sangat berguna pada konflik Irak dan Afganistan….

HISTORY:
First Flight: (U-2A) 1 August 1955; (TR-1A/U-2S) August 1981
Service Entry: (U-2A) June 1957; (U-2S) October 1994

CREW: 1 pilot

ESTIMATED COST: unknown

AIRFOIL SECTIONS:
Wing Root: NACA 64A409
Wing Tip: NACA 64A406

DIMENSIONS:
Length: (U-2C) 49.95 ft (15.24 m); (U-2S) 63.00 ft (19.2 m)
Wingspan: (U-2C) 80.00 ft (24.38 m); (U-2S) 103.00 ft (31.39 m)
Height: 14.98 ft (4.57 m)
Wing Area: (U-2C) 565 ft2 (52.49 m2); (U-2S) 1,000 ft2 (92.9 m2)
Canard Area: not applicable

WEIGHTS:
Empty: (U-2C) 11,700 lb (5,305 kg); (U-2R) 19,000 lb (8,620 kg); (U-2S) 17,800 lb (8,075 kg)
Normal Takeoff: unknown
Max Takeoff: (U-2C) 17,270 lb (7,833 kg); (U-2S) 40,000 lb (18,144 kg)
Fuel Capacity: internal: unknown; external: unknown
Max Payload: unknown

PROPULSION:
Powerplant: (U-2C) one Pratt & Whitney J75-13 turbojet; (U-2R/TR-1A) one Pratt & Whitney J75-13B turbojet; (U-2S) one General Electric F-118-101 turbofan
Thrust:(U-2R) 17,000 lb (75.6 kN); (U-2S) 19,000 lb (84.5 kN)

PERFORMANCE:
Max Level Speed: at altitude: 530 mph (850 km/h) [U-2C], 495 mph (795 km/h) [U-2S]; at sea level: unknown
cruise speed: 375 mph (690 km/h) [U-2R]
Initial Climb Rate: unknown
Service Ceiling: (U-2C) 85,000 ft (25,930 m); (U-2S) 90,000 ft (27,430 m)
Range: (U-2C/R) 2,610 nm (4,830 km); (U-2S) 3,800 nm (7,050 km)
Endurance: (U-2R) 12 hr; (U-2S) 15 hr
g-Limits: +2.5

ARMAMENT:
Gun: none
Stations: (U-2C) one internal bay; (U-2S) one internal bay and two underwing pods
Air-to-Air Missile: none
Air-to-Surface Missile: none
Bomb: none
Other: cameras, IR sensors, other recon sensors

KNOWN VARIANTS:
U-2A: First production one-seat reconnaissance model; 48 built
U-2B: Two-seat trainer; 5 built
U-2C: Improved one-seat reconnaissance model with a new engine and modified engine inlets
U-2D: Two-seat trainer
U-2CT: Two-seat trainer rebuilt from U-2D airframes but with the training pilot seated at a higher level; at least 6 converted
U-2G: U-2A models modified with stronger landing gear, an arresting hook, and wing spoilers in order to operate from US Navy aircraft carriers; 3 converted but rarely used
U-2R: Enlarged and improved U-2C with underwing pods and increased fuel capacity; 12 built
U-2RT: Two-seat trainer based on U-2R; 1 built
U-2EPX: Proposed maritime surveillance model for the US Navy based on the U-2R; 2 built but not put into service
WU-2: Research aircraft used by the US Air Force for atmospheric research
TR-1A: Improved U-2R with side-scanning radar, new avionics, and improved ECM equipment; 33 built
TR-1B: Two-seat trainer for the TR-1A; 2 built
ER-2: One-seat "earth resource" research aircraft built for NASA
U-2S: New designation for the TR-1A; also updated with a more efficient engine, improved sensors, and the addition of a GPS system; 31 converted
U-2ST: Redesignated U-2R/TR-1B two-seat trainer with updated engine; 4 converted

KNOWN COMBAT RECORD:
verflights of Soviet Union, China, Cuba, and others
Vietnam War (USAF, 1965-1972)
Iraq - Operation Desert Storm (USAF, 1991)
Iraq - Operation Northern Watch (USAF, 1991-2003)
Iraq - Operation Southern Watch (USAF, 1991-2003)
Bosnia - Operation Deliberate Force (USAF, 1995)
Afghanistan - Operation Enduring Freedom (USAF, 2001-present)
Iraq - Operation Iraqi Freedom (USAF, 2003-present)

KNOWN OPERATORS:
United States (Central Intelligence Agency)
United States (US Air Force)
United States (NASA)

Senin, 25 Oktober 2010

SR-71 Blackbird

SR-71 Blackbird


Tipe Strategic Reconnaissance
Produsen Lockheed Skunk Works
Perancang Clarence "Kelly" Johnson
Terbang perdana 22 Desember 1964
Diperkenalkan 1966
Dipensiunkan 1998
Pengguna United States Air Force
NASA
Jumlah produksi 32
Acuan dasar Lockheed A-12

Lockheed SR-71 adalah sebuah pesawat pengintai strategis jarak jauh berkecepatan Mach 3 yang berawal dari pesawat model A-12 dan YF-12 yang dibuat oleh Lockheed Skunk Works. SR-71 secara tidak resmi dijuluki 'Blackbird' dan dipanggil Habu (nama ular) oleh para awak penerbangnya. Clarence "Kelly" Johnson bertanggung jawab atas berbagai inovasi di konsep desain pesawat canggih ini. Keungulan dalam pertahanan pesawat ini adalah kecepatan terbang dan tingginya daya jelajah, dimana jika sebuah peluru kendali darat ke udara terdeteksi, tindak pengelakan yang standar adalah menambah kecepatan. Tipe SR-71 digunakan antara 1964 sampai 1998, dimana 12 dari 32 pesawat rusak akibat berbagai kecelakaan, tetapi tidak satupun hilang ketangan musuh.

Karakteristik umum
Kru: 2
Payload: 3,500 lb (1,600 kg) of sensors
Panjang: 107 ft 5 in (32.74 m)
Lebar sayap: 55 ft 7 in (16.94 m)
Tinggi: 18 ft 6 in (5.64 m)
Area sayap: 1,800 ft2 (170 m2)
Berat kosong: 67,500 lb (30,600 kg)
Berat terisi: 170,000 lb (77,000 kg)
Berat maksimum lepas landas: 172,000 lb (78,000 kg)
Mesin: 2× Pratt & Whitney J58-1 continuous-bleed afterburning turbojets, 32,500 lbf (145 kN) masing-masingWheel track: 16 ft 8 in (5.08 m)
Wheel base: 37 ft 10 in (11.53 m)
Aspect ratio: 1.7
Performa
Kecepatan maksimum: Mach 3.2+ (2,200+ mph, 3,530+ km/h, 1,900+ knots) at 80,000 ft (24,000 m)
Jarak jangkau: 2,900 nmi (5,400 km)
Jarak jangkau ferri: 3,200 nmi (5,925 km)
Batas tertinggi servis: 85,000 ft (25,900 m)
Laju panjat: 11,810 ft/min (60 m/s)
Beban sayap: 94 lb/ft² (460 kg/m²)
Dorongan/berat: 0.382

Sabtu, 23 Oktober 2010

CN-235 MPA TNI-AU

CN-235 MPA : Rajawali Pengawas Lautan Nusantara

CN-235-220 MPA (Maritim Patrol Aircraft) ditenagai sepasang mesin CT-771 berdaya 1.870 PK (1.395 kilo watt), dua buah baling-baling berbilah empat tipe Hamilton Sundstrand 14 FR-21 dengan bobot total berikut bahan bakar 15,85 ton sampai 16,55 ton.

Peralatan atau electronic system yang terpasang buatan Thales, juga dilengkapi dengan perangkat lihat malam FLIR-200 HP yang dipandu sinar infra merah. Dengan peralatan yang terpasang pada CN-235-220 MPA pesawat dapat beroperasi pada malam hari, mengenali kawan atau lawan serta durasi terbang antara 8-10 jam.

Pesawat itu dapat memantau pergerakan dalam radius 100 nautical mile. Dengan kemampuan yang dimilikinya, pesawat ini akan dperhitungkan untuk dimiliki dan dioperasikan sejumlah negara.

Karakteristik Umum
# Kru: 2(dua) pilots
# Kapasitas: sampai 45 penumpang
# Panjang: 21.40 m (70 ft 3 in)
# Bentang sayap: 25.81 m (84 ft 8 in)
# Tinggi: 8.18 m (26 ft 10 in)
# Area sayap: 59.1 m² (636 ft²)
# Berat Kosong: 9,800 kg (21,605 lb)
# Berat Isi: 15,500 kg (16,500 kg Military load) ( lb)
# Maksimum takeoff: 15,100 kg (33,290 lb)

Kemampuan
* Kecepatan Maksimum: 509 km/j (317 mpj)
* Jarak: 796 km (496 mil)
* Ketinggian Maks: m ( ft)
* Daya Menanjak: 542 m/min (1,780 ft/min)
* Beban Sayap Maks: kg/m² ( lb/ft²)
* Power/berat: kW/kg ( hp/lb)

Keterangan : Menurut keterangan pihak Departemen Pertahanan RI telah memesan CN-235 MPA sebanyak 3 unit, tapi hingga tulisan ini dibuat baru 1 unit yang diserahkan kepada pihak TNI-AU. CN-235 MPA saat ini dioperasikan oleh skadron udara 2 Angkut ringan Lanud Halim Perdanakusumah.

Kabarnya bila 3 unit telah diserahkan ke pihak TNI-AU, CN-235 akan diserahkan ke skadron udara 5, sebagai skadron spesialis pesawat pengintai yang berbasis di Lanud Hassanudin, Makasar. CN-235 MPA tidak dilengkapi persenjataan untuk bela diri, maupun persenjataan rudal untuk serang permukaan.

N22/24 Nomad TNI-AL

N22/24 Nomad – Si Pengintai Lawas TNI-AL

Inilah ikon dunia penerbangan TNI-AL pada dasawarsa terakhir, walau sudah berusia tua dan sebagian telah di grounded, tetap saja pesawat N22/N24 Nomad menjadi andalan utama TNI-AL untuk tugas pengintaian dan patroli maritim. Hal ini dibuktikan terakhir saat konflik Ambalat meletus beberapa bulan lalu, Nomad menjadi ujung tombak TNI-AL untuk melakukan patroli di wilayah perairan.

Pesawat buatan GAF (Government Aircraft Factories) dari Australia ini kerap terbang rendah “menyambar” kapal-kapal asing yang dicurigai membawa muatan ilegal. Nomad memang punya kemampuan terbang rendah 15 meter dari permukaan, pesawat ringan dengan dua mesin turboprop ini dirancang untuk bisa melakukan STOL (Short Take Off Landing), dan dipersiapkan untuk bisa mendarat di landasan tanah atau rumput. Dengan kemampuannya, pesawat ini pun pernah menjadi bintang dalam film seri Flying Doctors (pernah diputar di RCTI pada dekade tahun 90-an).

Nomad pun dirancang dalam beberapa varian, termasuk sipil dan militer. Untuk versi militer, selain tentu digunakan oleh Australia (AD dan AL), ada beberapa negara lain yang menggunakan Nomad versi ini, diantaranya adalah Indonesia (TNI-AL), Papua New Guinea, Filipina dan Thailand. TNI-AL sendiri kabarnya memiliki sekitar 26 unit Nomad N22/N24 Searchmaster yang tergabung dalam skadron 800 Intai Maritim. Tipe N24 memiliki kemampuan radar intai tambahan APS-104. Sekedar informasi, Nomad tidak dilengkapi dengan alat pertahanan diri (chaff) dan persenjataan.

Tapi sayang karena pesawat ini sering jatuh dan berusia lanjut (terbang perdana sejak tahun 1971), muncul keputusan untuk meng-grounded Nomad, TNI-AL berencana mengganti Nomad dengan jenis CN-235 MPA atau C-212 MPA. Di Australia sendiri pesawat ini sudah tak lagi digunakan dan dimasukkan dalam museum. Alasan grounded juga didasari kelangkaan suku cadang, karena pabrik Nomad sendiri telah tutup. Di Indonesia, selain masih ditempatkan di wilayah operasi, salah satu Nomad (P.806 N2255) kini juga ditempatkan sebagai monumen di kota Lamongan, Jawa Timur.

Spesifikasi
Negara Pembuat : Australia
Mesin : TwoPowerplant type : Allison 250-B17C turbopropsMax Power Rating : 313kW (420shp)
Dimensi Length : 12.56m (41ft 2.5in)Height : 5.52m (18ft 1.25in)Wingspan : 16.52m (54ft 2.5in)Wing Area : 30.10m2 (324sq ft)
Berat : Empty Weight : 2,150kg (4,740lb)Max Take-off Weight : 3,856kg (8,500lb)

Landing Gear
Type : Retractable tricycle type with twin-wheel main units and a single-wheel nose unit

Performance
Cruising Speed : 168kt (311km/h; 193mph)Maximum Range : 730nm (1,352km; 840mi)Service Ceiling : 21,000ft (6,400m)

Senin, 27 September 2010

Boeing 737 Surveillance – Jet Pengintai TNI-AU

Boeing 737 Surveillance – Jet Pengintai TNI-AU

Tampilannya tak beda jauh dengan pesawat komersial biasa, akan tetapi kemampuannya sangat luar biasa. Pesawat Boeing-737 milik TNI Angkatan Udara ini mampu mengamati seluruh gerak-gerik di atas perairan Indonesia yang luasnya mencapai 8,5 juta kilometer persegi.
Sesuai dengan tugasnya, tiga pesawat Boeing-737 Maritime Patrol yang berbasis di Skadron Udara 5 Pangkalan Udara (Lanud) Hasanuddin, Makassar, ini setiap hari melakukan pengamatan udara dan maritim (air and maritime surveillance) di seluruh wilayah perairan Indonesia. Secara bergantian ketiganya mengamati secara sistematik ruang udara, permukaan daratan, maupun perairan, lokasi, atau tempat, sekelompok manusia atau obyek-obyek lain, baik secara visual, aural, fotografis, elektronis, maupun dengan cara lain.
“Tugas kami hanya mendeteksi. Hasil deteksi yang diperoleh disampaikan ke komando atas, yang akan menentukan tindakan selanjutnya. Bila perlu hasil deteksi itu dikoordinasikan dengan TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Darat, Kepolisian RI, atau instansi terkait,” ungkap Kapten (Pnb) Sumanto, Komandan Flight Operasi Skadron 5.
Peran pengamatan udara itu penting bagi Indonesia untuk dapat dimanfaatkan mencegah pengambilan ikan secara ilegal oleh nelayan asing, dan untuk menggagalkan penyelundupan kayu, serta minyak yang sampai sekarang masih marak di perairan Indonesia.
Skadron 5 yang berpangkalan di Lanud hasanuddin, Makassar, menerima tiga Boeing B737-200 2X9 Surveiller untuk menggantikan Grumman UF-1 Albatross. Pesawat berjulukan Camar Emas ini diberi registrasi AI-7301, AI-7302, dan AI-7303. Pengiriman pesawat yang dipesan April 1981 ini dilakukan secara maraton mulai dari 20 Mei 1982, 30 Juni 1983, dan 3 Oktober 1983. dengan kekuatan tiga pesawat, berarti tiap pesawat harus melakukan pengintaian sepertiga wilayah Indonesia.
Dari segi performa, Camar Emas tidak kalah garang dengan pesawat pengintai yang telah terkenal seperti E-8-J-STARS (Joint Surveillance and Target Attack Radar System), E-3 Sentry AWACS, Bariev A-50 Mainstay AWACS, DC-8-72F SARIGUE NG, P-3C Orion atau radar terbang masa datang Australia B737-700 Wedgetail –versi New Generation B737 yang dikonversi untuk kepentingan intelijen. Tidak percaya? Intip saja alat pengendus yang diusung.
Dihidungnya ada radar double agent AN/APS-504 (V)5. selain berfungsi konvensional, radar ini bisa diset mendeteksi sasaran di permukaan atau di udara. Jarak pindainya luar biasa, 256 Nm (Nano Meter)
Navigasi dan komunikasinya juga kompak. Saat ini B737 dilengkapi sistem navigasi INS LTN-72R terintegrasi dengan GPS. Karena memainkan peran penting dalam air intelligence, komunikasi tidak saja masuk kategori wajib, tapi juga harus mempunyai tingkat aksesbilitas tinggi. Untuk B737, saluran telepon bisa terhubung langsung dengan komando pusat. Tampilan instrumen yang menawan (pilot color high resolution display), makin mempercanggih suasa kokpit.

Tugas pokok Skadron 5 adalah, melakukan pengintaian udara strategis dan pengawasan maupun pengamanan terhadap semua objek bergerak di permukaan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan jalur lalu lintas damai. Informasi yang dihasilkan B737 sangat penting dalam masa perang dan damai. Kegiatan eksploitasi informasi dalam hubungannya dengan air power terdiri dari tiga hal. Yaitu informasi, reconnaissance, dan surveillace. Hubungan ketiga faktor ini dengan intelijen sangat erat.
Maritime Patrol ini dilengkapi peralatan SLAMMR (Side Looking Airborne Multi Mission Radar), suatu alat sensor dengan daya deteksi yang sangat kuat pada suatu daerah yang sangat luas. Dengan SLAMMR, Boing-737 ini mampu mendeteksi wilayah perairan seluas 85.000 mil persegi per jam. Di tambah lagi peralatan navigasi Internal Navigation System dan Omega Navigation System serta peralatan komunikasi modern.
Tiga pesawat Boeing-737 itu berbasis di Skadron Udara 5 Lanud Hasanuddin, Makassar, sejak 1 Juni 1982. Tahun 1993, ketiganya menjalani up-grade di tempat kelahirannya di Seattle, Amerika Serikat. Sehingga mengalami peningkatan kemampuan pada SLAMMR Real Time, Infra Red, Search Radar, serta sistem navigasi dan komunikasi yang diintegrasikan dengan DPDS (Data Processing Display System).
Dengan kemampuan yang dimiliki itu, Boeing-737 Maritime Patrol melakukan tugas pengawasan dan pengintaian di perairan Nusantara, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), serta alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). Di samping itu, mengawasi daerah musuh tanpa harus terbang di atas wilayahnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, Maritime Patrol didukung 64 kru, yang terdiri dari dua orang instruktur/kapten pilot, 12 co-pilot, 16 juru mesin udara (engineering), lima juru muat udara (load master), 10 operator console, 14 observer, tiga juru foto udara, dan dua flight surgeon.
Dengan jumlah pesawat yang masih terbatas untuk memantau wilayah kita yang sangat luas, Skadron Udara 5 dituntut mampu mengoptimalkan alat utama sistem senjata (alutsista) yang ada. “Dalam kondisi seperti ini kita tidak kenal menyerah. Berbekal basis pengetahuan yang dimiliki, kami mencoba mengombinasikan dengan pengalaman yang dihadapi dalam pemeliharaan di lapangan. Pengalaman itu kemudian menjadi pengetahuan yang baru bagi kami, untuk memperpanjang usia pakai peralatan,” kata Kepala Dinas Pemeliharaan Skadron Udara 5, Kapten (Tek) Ifan BM.
Tanggal 14 September 1993, pesawat Boeing 737 AI-7301 kembali dari AS setelah mengalami peningkatan kemampuan dengan modifikasi. Adapun kemampuan yang ditingkatkan adalah Slammr Real Time, Infra Red Detection System (IRDS), Search Radar, sistem navigasi dan komunikasi yang terintegrasi dengan DPDS (Data Proccessing Display System). Sedangkan untuk pesawat AI-7303 modifikasi dilakukan di IPTN (sekarang PT DI) Bandung. Terakhir kita melihat kiprah pesawat ini saat turut mencari lokasi jatuhnya pesawat Adam Air di laut Sulawesi. (dikutip dari www.kompas.com)
Spesifikasi Boeing 737-200 2X9 Surveiller
Dimensions
Wingspan 28.35 m (93 ft 01 in)
Tail Height 11.23 m (36 ft 84 in)
Overall Length 30.53 m (100 ft 16in)
Cabin Width (floor level) 3.3 m ( 10 ft 8 in)
Cabin Length 28.2 m ( 92 ft 8 in)
Design Weights
Maximum Taxi Weight 53 297 kg (117 498 lbs)
Maximum Landing Weight 47 627 kg (104 998 lbs)
Maximum Zero Fuel Weight 43 090 kg (94 996 lbs)
Operating Empty Weight 29 400 kg (64 815 lbs)
Design Weights
Power P & W JT8D-17A
Cruising Speed 760 km/h ( 410 kts)
Cruising Altitude 10 668 m (35 000 ft)
Range 2 414 km (1 500 miles)
Passenger Capacity 107
Fuel Capacity Volume 19 544 l (15 635 kg)

Senin, 20 September 2010

Aurora Strategic Reconnaissance (Pesawat Pengintai)

Aurora Strategic Reconnaissance (Pesawat Pengintai)

Nama “Aurora” pertama kali muncul pada sebuah dokumen anggaran tahun 1985 yang menyebutkan proyek ini akan menerima $80 juta pada tahun fiscal 1986 dan $2,2 miliar tahun fiscal 1987. Setelah nama tersebut muncul tepat setelah TR-1, banyak orang menyimpulkan bahwa program tersebut merupakan program pesawat berkecepatan tinggi untuk menggantikan SR-71. Pada awal 1979, AU AS mulai mempelajari sebuag “pesawat yang berkecepatan 4Mach dan mampu beroperasi pada ketinggian 200.000 kaki yang dapat mengikuti pesawat pengintaian strategis Lockheed SR-71 pada tahun 1990an”.
AU, NASA dan beberapa kontraktor pesawat terbang mulai mendesain pesawat yang mampu terbang dengan kecepatan 5 Mach pada sekitar awal dan pertengahan 1980an, kemungkinan akan mensuplai informasi untuk pengembangan konsep pesawat ini. Kesulitan utama pada proyek ini adalah pengembangan mesin pesawat yang mampu memberikan kekuatan yang dapat menghasilkan kecepatan 5 Mach dan pengembangan struktur pesawat yang mampu bertahan pada suhu tinggi akibat kecepatan yang sangat tinggi.
Jika informasi di atas tidak ada, maka Auora akan seperti pesawat berkecepatan 3 Mach XB-70 Valkyrie atau National Aerospace Plane (NASP) X-30 milik NASA yang dibatalkan programnya. Kedua pesawat itu mempunyai bentuk segitiga dengan sayap delta. Keduanya melawan panas akibat kecepatan tinggi itu dengan mensirkulasi bahan bakar sepanjang permukaaan. Sementara XB-70 dilengkapi dengan mesin jet konvensional, X-30 memakai mesin ramjet atau scramjet canggih yang menggunakan bahan bakar cryogenic untuk dapat beroperasi pada kecepatan sampai 5 Mach.
Dengan perkembangan teknologi avionic ini dan adanya dana dari AS, banyak orang menganggap bahwa AU AS telah dapat mengembangkan, membuat dan menguji pesawat besar berkecepatan tinggi ini pada awal 1990an. Segera setelahnya, laporan mengenai ledakan “sonic” keras dan penampakan pesawat aneh di atas Inggris dan Kalifornia Selatan mulai muncul permukaan. Beberapa orang menganggap beberapa laporan ini adalah bukti keberhasilak AU AS membuat pesawat berkecepatan sangat tinggi ini yang menggunakan suatu mesin “exotic”.
Pemerintah AS sampai sekarang masih menyangkal keberadaan pesawat yang bernama Aurora atau sejenisnya ini untuk menggantikan pesawat SR-71. Setelah bukti-bukti yang mendukung keberadaan Aurora hanya merupakan dugaan kosong, hanya ada sedikit alasan untuk membantah pernyataan pemerintah AS.

HISTORY:
First Flight: possibly late-1980s
Service Entry: existence unconfirmed

CREW: possibly two: pilot and systems officer

DIMENSIONS:
Length: 115 ft (35 m)
Wingspan: 65 ft (20 m)
Height: 19 ft (6 m)
Wing Area 3,200 ft2 (300 m2)
Canard Area: not applicable

WEIGHTS:
Empty: 65,000 lb (29,480 kg)
Typical Load: unknown
Max Takeoff: 157,000 lb (71,215 kg)
Fuel Capacity: internal: 88,000 lb (39,920 kg); external: not applicable
Max Payload: 4,000 lb (1,815 kg)

PROPULSION:
Powerplant: possibly turbofan engines for subsonic flight and
ramjets, scramjets, or pulse detonation engines for supersonic flight
Thrust: unknown

PERFORMANCE:
Max Level Speed: at altitude: possibly Mach 5 to Mach 8 (some suggest up to Mach 20); at sea level: unknown
Initial Climb Rate: unknown
Service Ceiling: 131,000 ft (40,000 m)
Range: 8,000 nm (15,000 km)
g-Limits: unknown

ARMAMENT:
Gun: none
Stations: none
Air-to-Air Missile: none (although some suggest a long-range AAM like the AIM-54 Phoenix might be carried)
Air-to-Surface Missile: none
Bomb: none
Other: cameras, IR sensors, other recon sensors

KNOWN VARIANTS:
Aurora: Possible high-speed advanced reconnaissance platform

KNOWN COMBAT RECORD: existence unconfirmed
KNOWN OPERATORS: United States (US Air Force)

Grumman E-2 Hawkeye Airborne Early Warning And Control Aircraft

Grumman E-2 Hawkeye Airborne Early Warning And Control Aircraft


Deskripsi:
Walaupun AL AS sudah mempunyai keinginan sangat lama untuk platform pengintaian dan survey udara, ternyata membutuhkan waktu yang lama untuk mewujudkan sebuah pesawat pengintai yang dapat beroperasi pada kapal induk. Meskipun demikian, diperlukan beberapa tahun lagi agar komputer mempunyai kekuatan yang cukup sehingga mampu mencari (tracking) dan memproses lebih dari satu target pada satu waktu. Keinginan ini akhirnya terwujud ketika Grunman dinyatakan sebagai pemenang kontrak AL untuk membuat pesawat peringatan awal dan kontrol udara (airborne early warning and control=AWACS).
Desain Grumman terdapat mesin turboprop kembar yang dipasang di bawah sayap yang dipasang-tinggi. Bodi pesawat yang panjang dapat diawaki oleh lima orang, termasuk tiga spesialis misi. Terdapat “radom” berputar besar yang dipasang pada tiang di atas “juncture” sayap. Untuk mengatasi aliran udara di sekitar “radome”, pada ekornya terpasang empat sirip pada ekor horizontal dengan dihedral signifikan. Desain ini pertama kali terbang pada 1960, awalnya dikenal sebagai W2F-1, tetapi kemudian diberi nama E-2A Hawkeye sebelum mulai beroperasi.
AL menerima 59 pesawat E-2A pada 1967, tetapi segera diupgrade menjadi E-2B standar dengan pemasangan komputer prosesing yang lebih kuat dan peralatan pengisian bahan bakar udara. Tak berapa lama kemudian, Grumman mulai memproduksi model E-2C baru yang termasuk di dalamnya sustem avionic yang jauh lebih canggih dan mesin yang lebih bertenaga. Pesawat-pesawat ini terus diupgrade secara kontinu dengan radar dan sensor baru, sistem avionic yang lebh canggih, peralatan processing yang lebih baik dan upgrade software yang memungkinkan pesawat ini untuk melakukan tracking terhadap 250 target dan mengkontrol 30 pesawat interceptor pada waktu bersamaan.
Dalam rangka untuk melindungi armada AS, E-2 juga digunakan oleh agen badan hukum untuk melacak peredaran narkoba. E-2 juga popular di AL Prancis dan beberapa negara lain. Sekitar 150 pesawat E-2C Hawkeyes sedang dibuat dengan produksi berkecepatan rendah (low-rate production). Sebuah varian baru yang disebut E-2D dengan peralatan elektronik baru juga sedang dalam proses pengembangan.

HISTORY:
First Flight: (W2F-1) 21 October 1961, (E-2C) 20 January 1971
Service Entry: (E-2A) 19 January 1964; (E-2C) November 1973

CREW: 2 pilots, 1 radar operator, 1 air control officer, 1 combat information center officer

ESTIMATED COST: $51 million

AIRFOIL SECTIONS:
Wing Root: NACA 63A216
Wing Tip: NACA 63A414

DIMENSIONS:
Length: 57.56 ft (17.54 m)
Wingspan: 80.58 ft (24.56 m)
Height: 18.31 ft (5.58 m)
Wing Area: 700.0 ft2 (65.03 m2)
Canard Area: not applicable

WEIGHTS:
Empty: 37,945 lb (17,210 kg)
Normal Takeoff: unknown
Max Takeoff: 51,815 lb (23,505 kg)
Fuel Capacity: 19,015 lb (8,625 kg)
Max Payload: unknown

PROPULSION:
Powerplant: two Allison T56-425 turboprops
Thrust: 9,820 ehp (7,322 kW)

PERFORMANCE:
Max Level Speed: at altitude: 390 mph (625 km/h); at sea level: unknown
cruise speed: 310 mph (500 km/h)
Initial Climb Rate: unknown
Service Ceiling: 36,955 ft (11,275 m)
Range: typical: 1,500 nm (2,780 km); ferry: 1,540 nm (2,850 km)
Endurance: 6 hr 15 min
g-Limits: unknown .

ARMAMENT: None

KNOWN VARIANTS:
W2F-1: Original designation for the E-2
E-2A: Initial production model; 59 built
TE-2A: E-2 trainers modified from E-2A airframes; 2 converted
E-2B: Designation for upgraded E-2A airframes modified with an improved computer and inflight-refueling capability
E-2C: Improved model with far more capable avionics; over 150 built by 2000
TE-2C: Trainer model based on the E-2C; 2 built
E-2C+: Upgrade currently being applied to US aircraft including improvements to the radar, software updates, and installation of more powerful engines
E-2D: New build model equipped with an improved radar system, new workstations, better satellite communications gear, and advanced cockpit displays; 75 to be built from 2009 to 2020
E-2T: Former E-2B aircraft upgraded for use by Taiwan; 6 converted
C-2 Greyhound: Ship-to-shore transport aircraft derived from the E-2 airframe

KNOWN COMBAT RECORD:
Vietnam War (USN, 1965-1972)
Lebanon (Israel, 1982)
Libya - Operation El Dorado Canyon (USAF, 1986)
Iraq - Operation Desert Storm (USN, 1991)
Bosnia - Operation Deliberate Force (USAF, 1995)
Afghanistan - Operation Enduring Freedom (USN, 2001-present)
Iraq - Operation Iraqi Freedom (USN, 2003-present)

KNOWN OPERATORS:
Egypt, Al Quwwat al Jawwiya il Misriya (Egyptian Air Force)
France, AƩronautique Navale (French Naval Air Arm)
Israel, Tsvah Haganah le Israel - Heyl Ha'Avir (Israeli Defence Force - Air Force)
Japan, Nihon Koku-Jieitai (Japan Air Self Defence Force)
Singapore (Republic of Singapore Air Force)
Taiwan, Chung-Kuo Kung Chuan (Republic of China Air Force)
United States (US Navy)