Rabu, 08 Desember 2010

Hawk Mk.127

Hawk Mk.127: The Next Level Fighter Trainer

Sosoknya tak jauh beda dengan keluarga besar Hawk Mk.100 yang beredar di dunia. Tapi soal kecanggihan, varian khusus pesanan AU Australia itu punya nilai tersendiri. Inilah salah satu contoh pengadaan mesin perang yang sesuai dengan kebutuhan.

Australia, dimata para produsen senjata dunia dianggap sebagai negara paling teliti dan santai dalam program pengadaan arsenal perang baru. Tak perlu terburu-buru buat menentukan tipe mesin perang yang bakal dibeli.

Bukan hanya sebatas imej belaka, proses penggantian armada jet tempur Dassault Mirage IIIO di era 1970-an bisa jadi contoh. Canberra butuh waktu sepuluh tahun buat memutuskan penempur F/A-18 Hornet sebagai kandidat penerus jet-jet buatan Prancis itu. Kejadian macam tadi bukan hanya berlaku sekali saja. Proses yang cukup memakan waktu juga berlaku saat AB Australia menggelar proyek pesawat peringatan dini, Wedgetail.

Ketika Australia mengumumkan program pengadaan jet latih lanjut canggih (LIFT-Lead In Fighter Trainer) budaya mengulur-ulur waktu tak diterapkan. Dibawah bendera Project Air 5367, program ini rampung hanya dalam tempo tiga tahun sejak pertama kali diumumkan tahun 1993.

Persaingan ketat

Proses pemilihan varian kursi ganda Hawk Mk.100 walau tergolong cepat tetap saja melalui jalan cukup berliku dan diwarnai persaingan ketat antarpabrikan. Ketika proyek dibuka, tercatat sedikitnya 14 produsen jet latih yang ikut mendaftar. September 1994, Canberra memangkas jumlah peserta, menyisakan enam pabrikan untuk meneruskan tawarannya.

Fase selanjutnya giliran tiga peserta yaitu Aero/Elbit L-59F Albatross, Alenia/Aermacchi/Embraer AMX-T dan Dassault/Dornier Alpha Jet ATS, terlempar dari arena. Sisanya, Aermacchi MB339, McDonnell Douglas (kini Boeing) T-45A Goshawk dan BAE System Hawk 100 tetap diperbolehkan bertarung.

Memasuki tahap akhir, barulah Australia mengeluarkan permintaan spesial yang wajib dipenuhi. Pesawat latih harus dilengkapi fasilitas glass cockpit, plus sistem otomatisasi generasi akhir macam HUD (Head Up Display), pengontrol HOTAS (Hands On Throttle and Stick) untuk kondisi kecepatan tinggi dan high-G. Singkatnya AU Australia (RAAF) berkeinginan agar lay-out kokpit pesawat nantinya serupa dan sebangun deangan armada jet tempur F/A-18 maupun pembom F-111.

Canberra memutuskan BAE System dengan Hawk 100 pada 1996. Dalam kontrak yang disepakati 24 Juni 1997, disebutkan bahwa RAAF bakal menerima 34 unit Hawk 100. Dari jumlah itu satu airframe dipakai sebagai platform uji statik. Pembelian jet latih ini menghabiskan dana 850 juta dollar Australia. Sesuai aturan yang ada, varian Hawk pesanan Australia ini diberi kode Hawk Mk.127.

Berhasil meraih proyek lumayan besar tentu saja membuat girang petinggi BAE System. Sebaliknya, bagi para insinyur pabrikan pesawat asal Inggris, proyek ini merupakan awal kerja keras. Sejak diumumkan sebagai pemenang hingga 1999, konsentrasi mereka terfokus pada upaya menciptakan glass-cockpit modern. Bahkan kabarnya lebih maju bila dibandingkan dengan perangkat sejenis yang terpasang pada jet-jet tempur garis depan generasi sekarang.

Beda karakter

Punya cita-cita setinggi langit maka wajar bila konskuensi yang ditanggung juga berat. Terbang pertama kali 16 Desember 1999 di Inggris, kehadiran varian paling canggih Hawk 100 ternyata membuat para petinggi RAAF pening. Tak usah ke soal teknis dulu, masalah penyediaan tenaga instruktur saja sudah cukup merepotkan. Untuk memenuhi kebutuhan pilot-pilot kawakan berkualifikasi Hawk, Canberra mau tak mau mesti mengimpornya dari sejumlah negara asing.

Salah satu pilot asing hasil rekrutan itu adalah Flight Lieutenant (Flt Lt) Charlie Cordy-Hedge. Punya pengalaman terbang 4.500 jam diatas beragam varian Hawk membuat Hedge tahu benar kelebihan dan kekurangan varian Hawk 127. Seperti dijabarkannya dalam Aircraft Illustrated (vol 38, no.3), desain tata letak kokpit Hawk RAAF jauh berbeda dengan varian Hawk Mk 60. Sejumlah komponen avionik tambahan menyulap pesawat sebagai platform pembawa senjata yang cukup mumpuni.

Beralih ke masalah manuver, untuk urusan yang satu ini Hedge mengacungkan dua jempolnya. "Pesawat ini merupakan gambaran dari keselarasan antara kebutuhan dan proyek pengadaan persenjataan baru." Sesuai keinginan RAAF, sumber tenaga pesawat dirancang sedemikian rupa untuk operasi pada ketinggian di bawah rata-rata. Daya dorong statis (static thrust) terasa tak jauh beda bila dibandingkan dengan varian Hawk lain. Tapi output tenaga yang dihasilkan lebih oke. Kombinasi karakter macam ini membuat Hawk 127 tak kepayahan saat melaju pada ketinggian rendah (low level).

Secara kasat mata sosok Hawk 127 tak jauh beda dengan varian Hawk 100 yang diadopsi Malaysia (TUDM) dan Indonesia (TNI AU). Namun bila disimak lebih teliti ada perbedaan pada bentuk sayap utama. Tak hanya itu. Sejumlah kelengkapan tambahan juga diimbuhkan. Sebut saja di antaranya penambahan rel pelontar rudal pada kedua ujung sayap. Selain itu komponen flaps tempur (combat flaps) turut pula dipasang.
Modifikasi sesuai spek yang disyaratkan RAAF tadi pada kenyataanya memang membuahkan hasil positif. "Perubahan berpengaruh pada kecepatan stall pesawat," papar Hedge. Karakter macam ini dinilai mampu mengasah talenta pilot saat melakukan proses recovery. Keuntungan lain, manuver pesawat bisa lebih agresif ketimbang Hawk versi standar saat melakukan simulasi pertempuran udara.

Seperti umumnya pesawat baru, sejumlah kendala teknis juga sempat dihadapi. Pada awal kedatangan, problem pada hidrolik, sistem pengontrol terbang serta keterbatasan suku cadang jadi menu sehari-hari yang kerap dihadapi awak RAAF. "Semua masih dalam batas kewajaran mengingat pesawat ini sebetulnya punya desain (bagian avionik) yang benar-benar baru," ungkap Hedge.

Fungsi ganda

Sampai sekarang RAAF mengoperasikan sedikitnya 33 Hawk 127. Penempatannya dibagi dua. Pertama dibawah naungan No. 76 Squadron di Lanud Williamtown, negara bagian New South Wales. Sisa armada Hawk yang ada ditempatkan di Lanud Pearce, Australia Barat sebagai bagian dari No. 79 Squadron.

Fungsi utama kedua skadron tadi memang melatih calon-calon pilot F/A-18 Hornet maupun F-111. Diluar itu, RAAF juga mematok armada Hawk 127 sebagai elemen bantuan (support role) tembakan udara bagi pergerakan pasukan darat atau armada kapal perang AL. Sekadar tambahan, sesuai perjanjian pertahanan antara Australia dan Selandia Baru, semula fungsi support role berada di tangan armada A-4K Skyhawk AU Selandia Baru. Kesepakatan itu berakhir pada 2001, sejalan keputusan Wellington untuk menjual semua Skyhawk miliknya.

Punya tugas tambahan sebagai elemen tempur tentu saja membutuhkan beberapa persyaratan. Soal daya angkut senjata, misalnya, Hawk 127 dianggap setara Skyhawk. Demikian pula kecepatan terbang pada ketinggian rendah, sudah layak. Satu-satunya kekurangan yang sampai saat ini masih dipikirkan Canberra adalah melengkapi armada Hawk 127 dengan perangkat RWR (Radar Warning Receiver) untuk keperluan support role. Untuk mengatasi itu RAAF masih memakai Pel-Air (varian elektronik Lear Jet) sebagai platform penyedia informasi kala melaksanakan tugas bantuan udara.

Pada prinsipnya Pemerintah Australia mendatangkan Hawk untuk keperluan latih. Bagian jeroan pesawat yang kaya dengan perangkat avionik pesanan spesial plus sedikit modifikasi fisik menyulap pesawat ini jadi combat capable. Seperti diungkapkan pada akhir wawancaranya, Hedge berpendapat, "At the end of the day a Hawk is a Hawk, and not a Hornet". *

Spesifikasi
Dimensi: Panjang 11,95m; Tinggi 4,08 m; Rentang sayap 9,39 m; Bobot 5,4 ton
Kemampuan: Jarak jangkau 1.207 km; Kecepatan 1.207 km/jam; Ketinggian maksimal 50.000 kaki
Persenjataan: Bom konvensional seri Mk.82, rudal antipesawat AIM-9M Sidewinder, kanon Aden kaliber 30 mm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar